Sejarah Asal usul Kab. Dompu
Pada zaman Majapahit di abad ke empat belas, nama kerajaan Dompu masih cukup disegani. Terbukti, Dompu disebutkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa yang tersohor itu, menjadi salah satu target negara yang harus ditaklukkan di bawah panji kebesaran kerajaan Majapahit yang bercita-cita untuk menyatukan seluruh wilayah di Nusantara!
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa,
sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo,
ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Teks di atas diambil dari naskah Pararaton,
merupakan isi sumpah Sang Patih Amangkubumi Majapahit, Gajah Mada, pada tahun
1258 Saka (1336 Masehi), yang artinya:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan
puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan
puasa”.
Gurun sekarang adalah Nusa Penida,
Seran adalah Seram, Tanjungpura adalah Ketapang di Kalimantan Barat, Haru
adalah Karo di Sumatera Utara, Pahang adalah Semenanjung Melayu, Bali adalah
Bali, Sunda adalah Pasundan di Jawa Barat, Palembang adalah Palembang, Tumasik
sekarang jadi negara Singapura, dan Dompo adalah Dompu, sebuah daerah di Pulau
Sumbawa.
Ekspedisi Majapahit yang
pertama dipimpin Panglima Nala, di bawah komando Patih Gajah Mada, mengalami kegagalan
dalam menaklukkan Dompu. Baru pada ekspedisi yang kedua sekitar tahun 1357
Masehi, dengan bantuan laskar dari Bali yang dipimpin Panglima Soka, Dompu bisa
dikalahkan, hingga seterusnya bernaung di bawah Kerajaan Majapahit.
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri.
Seperti halnya Lombok, Sumbawa, dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau kesultanan.
Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua khususnya di Indonesia Bagian Timur.
Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan Dompu atau (Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia.
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri.
Seperti halnya Lombok, Sumbawa, dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau kesultanan.
Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua khususnya di Indonesia Bagian Timur.
Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan Dompu atau (Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah di Dompu, sebelum terbentuknya kerajaan di daerah tersebut, telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “Ncuhi” atau raja kecil.
Ncuhi terdiri atas empat orang yakni Ncuhi Hu`u yang berkuasa di daerah Hu`u (sekarang Kecamatan Hu`u), Ncuhi Soneo yang berkuasa di daerah Soneo dan sekitarnya (sekarang Kecamatan Woja dan Dompu). Selanjutnya Ncuhi Nowa berkuasa di Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa di Tonda (sekarang wilayah Desa Riwo Kecamatan Woja Dompu). Dari keempat Ncuhi tersebut yang paling dikenal adalah Ncuhi Hu`u.
Menurut cerita rakyat setempat, di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi Kula yang mempunyai anak perempuan bernama Komba Rawe. Ncuhi tersebut kemudian dikenal dengan nama Ncuhi Patakula.
Cerita rakyat setempat menyebutkan, putra raja Tulang Bawang terdampar di daerah Woja dalam pengembaraannya, tepatnya di wilayah Woja bagian timur. Kemudian putra raja Tulang Bawang tersebut menikah dengan putri Ncuhi Patakula. Selanjutnya para Ncuhi sepakat menobatkan putra raja Tulang Bawang sebagai raja Dompu yang pertama.
Sedangkan Raja Dompu ke-2 bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari perkawinan antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu.
Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini adalah Dewa Mbora Bisu, yang merupakan Raja Dompu yang ke-3. Raja ke-4 Dompu adalah Dewa Mbora Balada, yang merupakan saudara dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa Indra Dompu.
Pada abad XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah. Kerajaan dikacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa pihak residen campur tangan
Sultan Abdull Azis, putra Sultan Abdullah yang kemudian mengganti Sultan
Yakub, ternyata tidak mampu banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima.
Pada 5-12 April 1815, ketika Gunung Tambora meletus, akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainnya berhasil melarikan diri.
Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata yang merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru, karena itu dia disebut dengan gelar Bata Bou. Beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum pemerintahaan. Dia pun menetapkan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama, sekaligus menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum Islam yang berlalu di wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahaannya, Sultan dibantu oleh majelis adat serta majelis hukum. Selanjutnya mereka (para pembantu itu) disebut manteri dengan sebutan raja bicara, rato rasanae, rato perenta, dan rato Renda.
Mereka tergabung suatu dewan hadat, dan merupakan badan kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima.
Pada 5-12 April 1815, ketika Gunung Tambora meletus, akhirnya sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainnya berhasil melarikan diri.
Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata yang merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru, karena itu dia disebut dengan gelar Bata Bou. Beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum pemerintahaan. Dia pun menetapkan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama, sekaligus menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum Islam yang berlalu di wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahaannya, Sultan dibantu oleh majelis adat serta majelis hukum. Selanjutnya mereka (para pembantu itu) disebut manteri dengan sebutan raja bicara, rato rasanae, rato perenta, dan rato Renda.
Mereka tergabung suatu dewan hadat, dan merupakan badan kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan.
LETUSAN TAMBORA
Gunung Tambora yang meletus pada 10 – 11 April 1815, dalam catatan sejarah Dompu, mengakibatkan tiga kerajaan kecil (Pekat, Tambora, dan Sanggar) yang terletak di sekitar Tambora tersebut musnah. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu pun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Dompu.
Pertambahan wilayah Kesultanan Dompu tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi Dompu Baru, yakni pergantian antara Dompu Lama ke Dompu Baru.
Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya.
Ahli sejarah Helyus Syamsuddin mengungkapkan, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari kelahiran Dompu, yang kemudian dikuatkan dengan Peraturan Daerah No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004.
Gunung Tambora yang meletus pada 10 – 11 April 1815, dalam catatan sejarah Dompu, mengakibatkan tiga kerajaan kecil (Pekat, Tambora, dan Sanggar) yang terletak di sekitar Tambora tersebut musnah. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu pun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Dompu.
Pertambahan wilayah Kesultanan Dompu tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi Dompu Baru, yakni pergantian antara Dompu Lama ke Dompu Baru.
Peristiwa tersebut menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya.
Ahli sejarah Helyus Syamsuddin mengungkapkan, peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari kelahiran Dompu, yang kemudian dikuatkan dengan Peraturan Daerah No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004.
LETUSAN TAMBORA, SEBUAH MISTERI LAHIRNYA DOMPU BARU
Seperti di daerah lain Lombok,Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas Kerajaan atau Kesultanan. Bahkan konon Kerajaan Dompu merupakan salah satu Kerajaan yang paling tua khususnya di bagian Indonesia Timur. Arkeolog dari Pusat balai penelitian arkeologi dan Purbakala Drs.Sukandar dan Dra. Kusuma ayu pada saat melakukan penelitian di Dompu beberapa waktu lalu pernah menyatakan bahwa dari berbagai hasil penelitiannya di Dompu dapat disimpulkan bahwa Dompu (Kerajaan DOMPO-Red) adalah Kerajaan paling tua diwilayah Timur Indonesia.
Namun sayang, tidak seperti di Lombok,Sumbawa dan Bima dimana untuk mengetahui lebih jauh tentang Kerajaan tempo dulu ketiga daerah tetangga tersebut banyak didukung oleh berbagai bukti otentik yang dapat menggambarkan tentang peristiwa sejarah tempo dulu,sedangkan di Dompu bukti otentik untuk mendukung keberadaan sejarah masa lalu tampaknya masih sangat kurang sekali bahkan bisa dikatakan hampir sudah tidak ada sama sekali. Barangkali inilah merupakan salah satu tugas dan kewajiban khususnya bagi kalangan generasi muda di daerah ini untuk lebih bekerja keras agar berbagai tabir misteri sejarah tempo dulu dapat segera terungkap meskipun hal itu membutuhkan perjuangan dan usaha yang cukup menyita waktu bahkan material sekalipun. Upaya pemkab Dompu dalam rangka untuk mencapai hal tersebut patut kiranya didukung oleh semua pihak,bahkan pemkab Dompu sendiri telah banyak berupaya dan tentunya pekerjaan tersebut akan sukses apabila selalu mendapat dukungan serta do,a restu dari seluruh lapisan masyarakat yang ada dan jangan malah pekerjaan itu dianggap hanya akan membuang energi serta mubazir saja. “Orang bijak mengatakan,terlalu sombong dan munafik apabila kita melupakan sejarah kita sendiri”, semoga hal itu tidak akan pernah terjadi, amin.
Seperti di daerah lain Lombok,Sumbawa dan Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas Kerajaan atau Kesultanan. Bahkan konon Kerajaan Dompu merupakan salah satu Kerajaan yang paling tua khususnya di bagian Indonesia Timur. Arkeolog dari Pusat balai penelitian arkeologi dan Purbakala Drs.Sukandar dan Dra. Kusuma ayu pada saat melakukan penelitian di Dompu beberapa waktu lalu pernah menyatakan bahwa dari berbagai hasil penelitiannya di Dompu dapat disimpulkan bahwa Dompu (Kerajaan DOMPO-Red) adalah Kerajaan paling tua diwilayah Timur Indonesia.
Namun sayang, tidak seperti di Lombok,Sumbawa dan Bima dimana untuk mengetahui lebih jauh tentang Kerajaan tempo dulu ketiga daerah tetangga tersebut banyak didukung oleh berbagai bukti otentik yang dapat menggambarkan tentang peristiwa sejarah tempo dulu,sedangkan di Dompu bukti otentik untuk mendukung keberadaan sejarah masa lalu tampaknya masih sangat kurang sekali bahkan bisa dikatakan hampir sudah tidak ada sama sekali. Barangkali inilah merupakan salah satu tugas dan kewajiban khususnya bagi kalangan generasi muda di daerah ini untuk lebih bekerja keras agar berbagai tabir misteri sejarah tempo dulu dapat segera terungkap meskipun hal itu membutuhkan perjuangan dan usaha yang cukup menyita waktu bahkan material sekalipun. Upaya pemkab Dompu dalam rangka untuk mencapai hal tersebut patut kiranya didukung oleh semua pihak,bahkan pemkab Dompu sendiri telah banyak berupaya dan tentunya pekerjaan tersebut akan sukses apabila selalu mendapat dukungan serta do,a restu dari seluruh lapisan masyarakat yang ada dan jangan malah pekerjaan itu dianggap hanya akan membuang energi serta mubazir saja. “Orang bijak mengatakan,terlalu sombong dan munafik apabila kita melupakan sejarah kita sendiri”, semoga hal itu tidak akan pernah terjadi, amin.
Sejarah mencatat,di dompu sebelum terbentuknya kerajaan konon didaerah ini
berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai “NCUHI” atau Raja Kecil,
para ncuhi tersebut terdiri dari 4 orang yakni Ncuhi Hu,u yang berkuasa
diwilayah kekuasaan daerah Hu,u (Sekarang kecamatan Hu,u Dompu – Red), kemudian
Ncuhi Saneo yang berkuasa didaerah Saneo dan sekitarnya (sekarang masuk dalam
wilayah Kecamatan woja Dompu), selanjutnya Ncuhi Nowa dan berkuasa didaerah
Nowa dan sekitarnya serta Ncuhi Tonda berkuasa diwilayah kekuasaannya yakni di
sekitar Tonda dan saat ini masuk dalam wilayah Desa Riwo kecamatan woja Dompu.
Diantara keempat Ncuhi tersebut yang paling terkenal konon yakni Ncuhi Hu,u.
menurut cerita rakyat yang ada bahwa,konon di negeri Woja berkuasa seorang
Ncuhi bernama “Sang Kula” yang akhirnya mempunyai seorang anak perempuan
bernama “Komba Rame”. Ncuhi ini kemudian terkenal dengan nama Ncuhi “Patakula”.
Pada saat itu konon terdamparlah putra Raja Tulang Bawang didaerah woja yang
sengaja mengembara di daerah Woja bagian timur. Singkat cerita akhirnya putra
Raja Tulang Bawang ini kawin dengan putrid Ncuhi patakula dan selanjutnya para
Ncuhi yang ada akhirnya sepakat untuk menobatkan putra Raja Tulang Bawang
tersebut sebagai Raja Dompu yang pertama. Pusat pemerintahannya konon disekitar
wilayah desa Tonda atau di desa Riwo masuk dalam wilayah kecamatan woja
sekarang.
Sedangkan Raja ke-2 Dompu adalah bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari
perkawinana antara putra Indra Kumala dengan putra Dewa Bathara Dompu.
Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini adalah : Dewa Mbora Bisu,Raja
dompu ang ke-3 adalah yaitu yang menggantikan kakaknya Dewa Indra Dompu,cucu
dari Indra Kumala. Dewa Mbora Belanda : beliau adalah saudaranya dari Dewa
Mbora Bisu dan Dewa indra Dompu yang menjadi Raja ke-4 didaerah ini. Dewa yang
punya Kuda. Pengganti Dewa Mbora Belanda adalah putranya yang bernama Dewa yang
punya Kuda dan memerintah sebagai Raja yang ke-5,Dewa yang mati di Bima.
Raja yang dikenal sebagai seorang yang dictator,sehingga diturunkan dari
tahta kerajaan oleh rakyat Dompu ialah Dewa yang mati di Bima. Beliau konon
menggantikan ayahnya (Dewa yang punya Kuda) sebagai raja yang ke-6 di Dompu
akan tetapi karena hal itu akhirnya di bawa ke Bima dan meninggal di sana,dewa
yang bergelar “Mawaa La Patu”. Raja inilah sebenarnya yang akan di nobatkan
sebagai raja Dompu yang menggantikan dewa yang mati di Bima,namun beliau ke Bima
dan selanjutnya memerintah di sana. Pada masa pemerintahan Raja inilah terkenal
satu ekspedisi dari Kerajaan di pulau Jawa yakni kerajaan Majapahit yang konon
ekspedisi tersebut di pimpin oleh salah seorang Panglima perang bernama
Panglima Nala pada tahun 1344,namun ekspedisi tersebut ternyata gagal.
Oleh rakyat dompu raja yang satu ini sangat dikenal sebagai raja yang
disiplin dalam menjalankan pemerintahanya,teratur dalam social ekonomi maupun
politik sehingga masyarakat saat itu memberi gelar sebagai “Dewa Mawaa Taho”,
semula raja ini dikenal dengan nama “Dadela Nata”. Beliau adalah raja yang ke-7
dan merupakan raja Dompu yang terakhir sebelum masuknya ajaran Islam di
Kerajaan Dompu,raja tersebut berkedudukan atau bertahta di wilayah Tonda.
Ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Panglima Nala dan di bawah komanda
Sang Maha Patih Gajah Mada mengalami kegagalan pada ekspedisi
pertama,selanjutnya menyusul ekspedisi yang ke-2 pada sekitar tahun 1357 yang
di Bantu oleh Laskar dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Soka. Ekspedisi yang
ke-2 inilah Majapahit berhasil menakklukkan Dompu dan akhirnya bernaung di
bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Melihat fenomena diatas maka dapat
disimpulkan bahwa keberadaan Kerajaan Dompu tersebut ternyata sudah ada sebelum
Majapahit,hal itu juga dapat dibuktikan dalam isi sumpah Palapanya sang Gajah
Mada dimana dalam isinya sumpahnya itu disebutlah nama kerajaan DOMPO
(Dompu-Red) sebagai salah satu kerajaan yang akan di taklukkan dalam
ekspedisinya tersebut.
Kesultanan Dompu.
Pada abad ke-XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah,Kerajaan
di kacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa memerlukan
campur tangan pihak residen. Sejak Sultan Abdull Azis,putra Sultan Abdullah
yang mengganti Sultan Yakub tidak banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang
menghancurkan desa-desa yang ada diwilayah dompu saat itu. Pada sekitar tahun
1809 Gubernur Jenderal Daendels menegaskan,Gubernur Van Kraam untuk
memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di
Bima,begitu pula penggantinya sultan Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan
Abdull Wahab,Sultan Muhammad tajul arifin I diganti oleh Sultan Abdull Rasul
II,adik beliau. Dari 5-12 April 1815 ketika tambora meletus akhirnya sepertiga
dari penduduk tewas dan sepertiga lainya berhasil melarikan diri.
Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata (ASI NTOI) kini merupakan
Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana
Bata yang baru (ASI BOU) Karena itu beliau disebut dengan gelar “Bata Bou”,
beliau diganti oleh putranya,Sultan Muhammad Salahuddin. Salahuddin mengadakan
perbaikan dalam system dan hokum pemerintahaan,beliau menetapkan hokum adat berdasarkan
hasil musyawarah dengan para alim ulama sekaligsu menetapkan hokum adat yang
dipakai adalah hokum Islam yang berlalu diwilayah kekauasaanny. Dalam
menjalankan pemeerintahaannyaSultan dibantu oleh majelis hadat serta majelis
hokum mereka itu dalam tatanan kepangkatan hadat dan hokum,mereka selanjutnya
mereka disebut manteri-manteri dengan sebutan “Raja Bicara,rato rasana,e, rato
perenta,dan rato Renda” mereka tergabung suatu dewan hadat,merupakan badan
kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan sultan.
Hadat juga merupakan kelengkapan pemerintahaan yang berfungsi menjalankan
hokum agama yang di kepalai oleh “Kadi” atau sultan menurut keperluannya.
Seperti sultan-sultan sebelumnya,salahuddin tetap melakukan hubungan dengan pihak
pemerintah kolonial Belanda. Menurut Zolinger,sejak mengadakan perjanjian
dengan kompeni pada sekitar tahun 1669. selanjutnya Sultan Muhammad salahuddin
diganti leh putranya yakni Sultan Abdullah. Pada masa pemerintahaannya beliau
menanda tangani kontrak panjang pada tahun 1886 silam. Beliau Selanjutnya
diganti oleh putrannya Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui konrak
tersebut pada sekitar tahun 1905. Sejarah juga menyebutkan bahwa Sultan pertama
di Dompu setelah adanya likuidasi pergantian pemerintahan dari sistim Kerajaan
menjadi Kesultanan yakni Sultan Syamsuddin I. Dan beliaulah merupakan pemimpin
atau Raja yang pertamakali memeluk agama Islam begitu sistim pemerintahaannya
berubah menjadi Kesultanan. Tahun 1958 Kesultanan dompu yang saat itu dipimpin
oleh Sultan dompu terakhir yakni Sultan Muhammad Tajul Arifin (Ruma To,i),
sistim pemerintahan di Dompu dirubah menjadi suatu daerah swapraja Dompu dan
Kepala daerah Swatantra tingkat II Dompu tahun 1958-1960.
Kerajaan Sanggar.
Sanggar merupakan kerajaan kecil yang terletak disebelah barat laut Dompu
disebelah timur kaki gunung tambora. Pada tahun 1805 raja sanggar meninggal dan
digantikan oleh saudaranya yakni Ismail ali Lujang. Pada abad ke-XIX,sebelum
tambora meletus dengan dahsyatnya, penduduk saat itu berjumlah skitar dua ribu
orang pada tahun 1808 dan meningkat menjadi dua ribu dua ratus orang pada tahun
1815.
Ketika Tambora meletus pada bulan april 1815 sebagian besar penduduknya
meninggal,dan tinggal dua ratus orang saja dan karena diserang leh perampok
pada tahun 1818 mereka melarikan diri ke Banggo di Kerajaan Dompu,dan sebagaian
ke Gembe Bima. Dengan bantuan gubernurmen pada tahun 1830 mereka akhirnya
kembali ke sanggar. Gubernurmen memberikan bantuan beberapa senapan dan amunisi
untuk menjaga diri dari srangan musuh. Pada tahun 1837 penduduk Sanggar masih
berjumlah sekitar tiga ratus tiga orang dan pada tahun 1847 meningkat menjadi
tiga ratus lima puluh orang atau jiwa. Rumah raja dibuat oleh rakyatnya sendiri
dengan bahan dari kayu pilihan secara gotong – royong. Raja dan para pembesar
kerajaan saat itu tidak di gaji tetapi tanah-tanah mereka dikerjakan oleh
rakyatnya. Pada awal abad ke- XX atau sejak Belanda menguasai pulau sumbawa
secara langsung,Kerajaan Sanggar di hapus serta digabungkan dengan kekuasaan
Kesultanan Bima hingga sekarang ini.
Kerajaan Tambora.
Kerajaan Tambora yang teretak pada suatu jazirah yang pada ketiga penjuru
dibatasi oleh laut. Disebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Sanggar dan
Kerajaan Dompu dengan luas areal wilayah 459 pal persegi. Seluruh kerajaan
berada disekitar kaki gunung Tambora (Gunung Arun). Sebelum Tambora meletus,air
sudah sangat kurang dan untuk mendapatkan air minum penduduk saat itu menggali
sumur di sekitar pantai. Rakyat tambora hidup dari berladang atau bercocok
tanam serta beternak dan meramu.
Ladang-ladang cukup dilembabpi oleh embun dan karena itu mereka bertanam
pada sekitar bulan agustus dan panen pada bulan desember. Kekayaan yang utama
adalah ternak kuda dan hasil kayu hutan . setengah dari hasil Gubernemen dan
setengah dari kuda-kuda tersebut dikirim ke Kerajaan Bima pada tahun 1806 dan
tahun 1807 berasal dari Tambora. Menurut Tobias,pada tahun 1808 Kerajaan
Tambora berpenduduk sekitar empat ribu iwa dan pada tahun 1815 atau setelah
tambora meletus penduduk kerajaan tambora sebagian habis tewas sebanyak tiga
puluh ribu jiwa lebih. Dan pada tahun 1816 sisa penduduk yang masih hidup
akhirnya meninggal semua karena diterjang banjir bandang dan banjir
lahar,selanjutnya bekas Kerajaan tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam
tersebut digabungkan dengan wilayah Kesultanan Dompu hingga sekarang ini. Bekas
Kerajaan tambora kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pekat Dompu.
Kerajaan Papekat (Pekat).
Dimasa pemerintahan kabupaten Dompu,nama Pekat saat ini merupakan nama
sebuah desa yang terletak di wilayah kecamatan Pekat – Calabay Dompu (Nama Ibu
Kota Kecamatan Pekat) Konon nama Pekat berasal dari kata “Pepekat”.
Kerajaan kecil ini tidak banyak meninggalkan atau menyimpan bukti-bukti
untuk mendukung keberadaan kerajaan tersebut tempo dulu bahkan hampir dikatakan
tidak ada sama sekali,hanya nama Pekat kini merupakan nama sebuah desa di
kawasan lereng gunung Tambora. Catatan sejarah menyebutkan,meskipun suatu
kerajaan kecil tetapi Pekat saat itu teraus diijinkan berdiri oleh pemerintah
penjanjah VOC terutama untuk membendung pengaruh dari Kerajaan Makassar ang
sewaktu-waktu dapat membentuk kekuatan di situ. Maka dengan Pekat pihak VOC
mengikat terus persahabatan yang baik sekali, tetapi akibat gunung Tambora
meletus,akhirnya penduduk di Kerajaan Pekat musnah seluruhnya kemudian bekas
kerajaan Pekat digabung kan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan dompu hingga
sekarang ini.
Gunung Tambora Meletus pada tanggal 10 – 11 April 1815, dalam catatan
sejarah Dompu letusan Tambora yang paling dahsyat yakni letusan pada tanggal 11
April 1815 yang mengakibatkan beberapa Kerajaan kecil yang terletak di sekitar
Tambora menjadi sasaran empuk musibah tersebut sehingga 3 Kerajaan kecil
tersebut musnah. Pralaya (Malapetaka) tersebut tampaknya di satu sisi berdampak
positif bagi berkembangan Kerajaan Dompu, sebab setelah sekian tahun lamanya
dalam perkembangan selanjutnya wilayah Kerajaan (Kesultanan) Dompu bertambah
luas wilayahnya karena bekas wilayah 3 Kerajaan kecil pernah musnah akibat
letusan Tambora tersebut akhirnya masuk kedalam wilayah Kerajaan (Kesultanan)
Dompu hingga sekarang ini. Dengan bertambahnya wilayah Kesultanan Dompu
tersebut (Pekat,Tambora dan sebagian wilayah Kerajaan Sanggar) maka moment
tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi DOMPU BOU (Dompu
Baru), yakni pergantian antara Dompu Lama dan Dompu Baru. Peristiwa tersebut
menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. 11 April
1815 Tambora meletus dengan dahsyatnya, akibat letusan Tambora wilayah Dompu
dikemudian hari bertambah luasnya meliputi bekas Kerajaan Pekat, Kerajaan
Tambora. DOMPU YANG BARU pun akhirnya lahir. Oleh ahli sejarah Prof.DR.Helyus Syamsuddin.PHd,
peristiwa 11 April 1815 tersebut akhirnya dijadikan patokan dan dasar yang kuat
sehingga 11 April dijadikan sebagai hari lahir atau hari jadi DOMPU.
Selanjutnya melalui Peraturan Daerah (Perda) No.18
tanggal 19 Bulan Juni 2004 ditetapkan bahwa tanggal 11 April 1815 sebagai hari
lahir/hari jadi Dompu. (*).
http://beritantbterbaru.blogspot.co.id/2014/07/sejarah-asal-usul-dompu_20.html
Komentar
Posting Komentar