La Hila
Ada sebuah dongeng di masa silam. Dongeng ini datangnya dari tanah
Donggo yang tinggi. Pasalnya ada seorang gadis yang sangat cantik di
Donggo Kala. Tidak ada orang yang tahu anak siapa si gadis itu. Namanya
La Hila. Tapi La Hila dibesarkan oleh seorang nenek yang bernama Wa’i
Kimpi. Dengan penuh ketabahan Wa’i Kimpi membesarkan La Hila. Dia jaga
dan rawat La Hila layaknya seperti anak kandungnya sendiri. Kasih sayang
Wa’i Kimpi tiada pupus untuk La Hila.
Kecantikan La Hila tiada bandingannya. Wajahnya yang bulat, putih dan
bersih. Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang manis dan tipis. Lehernya
yang indah, jika meminum sesuatu kelihatanlah aliran air dan makanannya.Jika ingin mengeringkan rambutnya, maka disiapkanlah tujuh buah galah untuk menjemur rambutnya.
Perangai La Hila cukup baik dan bersahaja. Tutur katanya sangat
halus. Tingkah lakunya sungguh sopan. Semua orang di kampung itu senang
melaihat La Hila. Seperti ungkapan, La Hila adalah kuncup dan bunga desa
itu. Bunga dari sekian banyak bunga di kampung Kala itu.
Ada sebuah sungai yang mengalir dan airnya cukup bersih. Sungai
itulah yang menjadi tempat mandi La Hila bersama Inang Pengasuhnya.
Tujuh perempuan dibutuhkan untuk memegang rambut La Hila. Tujuh buah
kepala yang digunakan untuk keramas rambut La Hila. Pokoknya mesti
tujuh. Seperti tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.
Kecantikan dan kemolekan La Hila sudah tersiar ke seantero negeri.
Banyak pemuda yang ingin melihat La Hila. Kabar tentang kecantikan La
Hila sudah tersiar hingga ke kerajaan Bima dan Tanah Sanggar. Di
kerajaan Bima, ada putera mahkota yang tampan bernama Siri Gani.
Sedangkan di kerajaan Sanggar ada putera Mahkota yang juga tampan
bernama Siri Dungga.
Karena ingin melihat La Hila, putera Mahkota Kerajaan Bima yang
bernama Siri Gani pergi berburu ke dataran tinggi Donggo. Dia ingin
sekali melihat La Hila. Pada suatu ketika di pagi hari, La Hila sedang
mandi. Dia berjalan mengikuti La Hila hingga tiba di rumahnya. Dia
sampaikan keinginannya pada Wa’i Kimpi yang sedang memasak.
“ Wa’i,saya putera Mahkota Kerajaan Bima.Saya sangat mencintai La Hila dan ingin menikahinya. “ Siri Gani menyampaikan keinginannya.
“ Itu keinginan yang baik sekali. Tapi semua itu akan berpulang pada keinginan hati La Hila. “
“ Itulah yang ingin saya sampaikan. Apakah saya harus menyuruh juru lamar kerajaan untuk datang kemari ? Siri Gani menawarkan
“ Saya Tanya dulu La Hila.”
Sebentar kemudian Wa’i Kimpi pergi menanyakan kepada La Hila. Dijawablah oleh La Hila bahwa dia akan berpikir-pikir dulu.Tapi
tidak apalah jika Putera Mahkota datang untuk jalan-jalan kalau ada
waktu. Mendengar isi hati La Hila itu senanglah hati Siri Gani. Itu
menandakan bahwa ada yang ditunggu.
Tetapi keesokan harinya, Putera Mahkota kerajaan Sanggar yang bernama
Siri Dungga mendatangi kediaman La Hila. Melihat kecantikan La Hila
matanya tiada berkedip. Seperti halnya Siri Gani, Siri Dungga juga ingin
menikahi La Hila. Sehabis mandi, Siri Dungga bersama para pengawalnya
mendatangi kediaman La Hila. Dia menyampaikan langsung keinginannya
kepada La Hila. Lalu dijawablah oleh La Hila.
“ Berikan kesempatan saya untuk berpikir. Tapi tidak apa –apalah jika datang untuk jalan-jalan dulu. “
Mendengar jawaban La Hila itu, senanglah hati Siri Dungga. Hatinya
ibarat bunga yang sedang mekar. Karena senangnya, dia tidak pernah
berpikir jauhnya tanah Sanggar untuk pulang pergi ke tanah Donggo.
Hati La Hila sudah mulai bimbang. Susah untuk dipilih di antara dua
pemuda yang mencintainya. Mereka sama-sama baiknya. Sama-sama gagahnya.
Sama-sama anak raja. Jika diterima cintanya Siri Gani , dia takut atas
kemarahan Raja Sanggar. Begitu juga jika dia terima cintanya Siri
Dungga. Dia mulai takut akan terjadi peperangan di antara dua kerajaan
itu. Dia tidak bias tidur sepanjang malam. Berpikir dan terus berpikir
siapa yang harus dia terima di antara keduanya. Keesokan harinya, dia
sampaikan kepada Wa’i Kimpi.
“ Ibu, saya sedang susah sekali memilih di antara dua pemuda itu. “
“ Ia, anakku. Saya juga berpikir hal yang sama. Saya khawatir ini
akan terjadi peerangan dan keributan antara dua kerajaan. “ Ternyata
Wa’i Kimpi juga berpikir yang sama seperti anaknya La Hila.
“ Bagaimana Ibu, jika dua orang itu sama –sama datang.” La Hila
sangat sedih. Sampai-sampai ia berkeinginan untuk menghilang dari tanah
Donggo.
“ Berpikirlah kembali anakku. Saya tergantung keputusanmu. Tapi kamu
harus punya pilihan. “ Demikian pesan Wa’i Kimpi kepada La Hila.
Keesokan harinya sebagaimana biasa La Hila pergi mandi dengan Wa’i
Kimpi dan beberapa gadis desa. Ketika sedang asyik mandi. Dia melihat ke
atas di celah pohon beringin besar. Ada dua orang pemuda yang sedang
berdiri berhadap-hadapan dan saling mengeluarkan keris. Sesaat kemudian
dua orang pemuda tampan itu berkelahi. La Hila, Wa’i Kampi dan beberapa
gadis itu mengenal dua pemuda yang sedang bertarung itu. Tiada lain
adalah Siri Dungga putera mahkota kerajaan Sanggar dan Siri Gani putera
mahkota kerajaan Bima.
Ketika pertarungan sengit terjadi di antara dua putera mahkota itu.
Berteriaklah Wa’i Kampi melarang mereka berkelahi. Tapi tidak diindahkan
oleh keduanya. Mereka tetap bertarung dan berguling-guling di atas
bukit itu. Mereka saling menikam di atas bukit itu. La Hila hanya
terdiam, air matanya berlinang. Tapi tidak kelihatan tangisannya. Wa’i
Kimpi dan beberapa gadis itu terus berteriak melarang mereka berkelahi.
Sesaat kemudian, terlihatlah oleh Wa’i Kimpi mereka berdua tergeletak
di atas bukit itu. Mungkin mereka sudah tewas di atas itu. Wa’i Kimpi
memanggil penduduk kampung yang laki-laki untuk naik ke atas bukit untuk
melihat dan melerai perkelahian di antara dua putera mahkota itu.
Setelah itu Wa’i Kimpi dan beberapa gadis itu kembali ke tempat
permandian. Tetapi apa yang terjadi ? La Hila sudah tidak ada di tempat
itu. La Hila telah menghilang.
Susah dan sedih hati Wa’i Kimpi kehilangan La Hila. Anak yang dia
besarkan setelah dibuang orang dan dia besarkan seperti halnya anaknya
sendiri. Kini sudah tidak ada lagi. Wa’i Kimpi terus menerus menangis.
Beberapa gadis juga turut menangis karena setiap hari mereka
bersama-sama. Dicari dan terus dicari tetapi tidak pernah tampak. Mereka
memanggil di setiap pojok kampung. Sedangkan orang-orang yang mendaki
bukit pergi melihat Siri Dungga dan Siri Gani. Mereka tidak melihat dua
orang putera Mahkota itu. Mereka menemukan sisa darah yang kemudian
menjadi merah menyala di gunung itu dan dua buah batu seperti halnya
kuburan. Orang-orang itu menjadi takut menaiki bukit itu. Karena tidak
lagi melihat dua orang yang saling menikam tadi. Siri Dungga dan Siri
Gani sudah menghilang juga. Dicari dan terus dicari di setiap pohon dan
mata air, tetapi tidak ada yang menyahut.
Setiap hari Wa’i Kimpi terus mencari La Hila. Tetapi tidak pernah
menemukannya. Setelah itu Wa’i Kimpi melantunkan senandung untuk terus
mencari La Hila.
(Dimanakah wahai anakku La Hila yang bagai sekuntum bunga,
Yang cantiknya tiada terkira,
Yang bayangannya selalu hadir.)
Di dekat sumur tempat La Hila, Wa’i Kimpi dan para gadis itu mand,.
Tiba-tiba tumbuh serumpun bambu. Bambu itu cukup rindang. Duduklah Wa’i
Kimpi di dekat pohon bambu itu. Dalam tangisannya itu, dicubitlah
batang-batang bambu itu. Terkejutlah Wa’i Kimpi mendengar tangisan dari
dalam bambu itu.
“ Ibu…ibu,,, jangan dicubit bambu ini. Ada saya di dalam bambu ini. “
“ Iya anakku, engkau kah La Hila ? “ Wa’i Kimpi memeluk bambu itu.
“ Iya ibu, saya La Hila. Lebih baik saya menghilang begini, agar
tidak terjadi keributan, peperangan karena memperebutkan saya. “
Wa’i Kimpi tidak bisa menahan tangisannya. Dia terus menerus memeluk
rumpun bambu itu. Akhirnya, bambu, sumur, dengan rumah tempat tinggal La
Hila masih ada sampai sekarang di Donggo Kala Bima. La Hila nan cantik
jelita telah menghilang.
( Sumber Cerita : Drs.M.Guntur, Anggota DPRD Kabupaten Bima )
Komentar
Posting Komentar